AKTUALISASI
PENGASUHAN ANAK
Rani Anggraeni Dewi
Masih ingatkah Anda
ketika awalnya Anda memasuki dunia baru, dunia perkawinan, dunia berrumah
tangga, membentuk keluarga sendiri. Tentu Anda akan langsung menerawang –
menelusuri kembali – bagaimana Anda berdua atau mungkin secara pribadi saja –
membayangkan sebuah keluarga yang Anda inginkan itu terwujud. Saya yakin, pasti
Anda juga memikirkan tentang pengasuhan anak, bahkan ada yang mulai membaca
buku, mengikuti seminar-seminar atau bertanya pada ahlinya, atau bisa jadi
malah tidak memikirkannya sama sekali.
“Ah gimana entar
ajalah”, “Gampang”, “Lahir aja belum”, begitulah. Saya pernah berulangkali
mendengar dari calon orang tua di lingkungan saya. Memang kalau direnungkan
sebenarnya kita ini kan tidak pernah serius memperhatikan hal itu. Apalagi
tidak ada “Sekolah untuk menjadi orang tua”. Sementara sekolah untuk menjadi
pimpinan perusahaan banyak, bahkan menjamur. Hampir semua menawarkan cara-cara
yang jitu menjadi eksekutif yang sukses, dan saya yakin Anda pasti setuju
dengan saya, bahwa semua orang tua bangga bila kelak anaknya menjadi salah satu
di antaranya.
Kemudian kita pun
membayangkan punya anak yang “Eksekutif Sukses” tadi, betapa bahagianya dihari
tua kita, hidup terjamin, senang – segala sesuatunya dilayani dan serba ada.
Tidak lupa pula “berhalo-halo” kepada kerabat, keluarga serta tetangga bahwa
anak kita sudah menjadi “Ini” dan menjadi “Itu”. “Wah hebat ya anakmu”, kata
mereka sambil berdecak. Kita pun dalam hati – merasa sukses – juga ada
kenikmatan tersendiri mendengar pujian itu, betulkan?
Tapi apakah sukses
menurut kita itu sama dengan sukses yang dimaksud oleh anak-anak kita? Apakah
nilai sukses yang dulu ditanamkan oleh orang tua kepada kita dulu masih berlaku
bagi anak-anak kita sekarang? Mari kita renungkan kembali. Yang saya tahu dan
saya alami, dulu ditanamkan nilai-nilai sukses pada benak saya, seperti:
1. Bila setamat SMU saya
masuk Perguruan Tinggi, lebih utama bila UMPTN dengan rangking satu atau yang
popular.
2. Kemudian saya menjadi
Sarjana, apalagi bila sesuai dengan gelar kesarjanaanya orang tua.
3. Setelah jadi sarjana,
bekerja pada suatu Lembaga atau Departemen, misalnya BUMN.
4. Mendapatkan jaminan
kesejahteraan yang “Wah” dari Lembaga tersebut (termasuk tunjangan hari tua).
5. Setelah + 20th
bekerja, berhasil menjadi pimpinan, direktur, naik mobil mewah, tinggal di
rumah dinas yang mewah dijaga satpam atau mungkin juga tinggal di rumah pribadi
yang letaknya di daerah elit (seperti Pondok Indah).
6. Mondar-mandir bertugas
ke luar negeri (mungkin juga hanya jalan-jalan).
7. Menjadi orang terkenal
(top deh), misalnya: pejabat, tokoh masyarakat, semacam selebriti.
Mungkin saja Anda juga
mengalami kondisi yang sama dengan saya, sebab standard nilai sukses tersebut
di atas memang bersifat sangat “Komensens dan Tradisional – Normatif” menurut
masyarakat modern dewasa ini – terutama yang hidup di kota-kota besar, di mana
pembangunan fisik sangat pesat. Seringkali karena ingin dikatakan orang tua yang sukses menurut standard nilai seperti di
atas – seperti yang dianut oleh masyarakat – lingkungan di mana kita berada,
maka dengan segala upaya kita memaksakan pula menanamkan standard nilai
tersebut pada anak-anak kita tanpa meninjaunya kembali – bagaimana perasaan
mereka “yang diharapkan menjadi orang yang seperti kita inginkan kelak”.
Padahal menjadikan
anak-anak seperti yang kita inginkan, yang sukses menurut standard kita belum
berarti memenuhi standard Allah SWT.
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya, kemudian kami membalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh …” (Surat
At-Tiin Ayat 4,5,6).
Al-Hujjah Al-Akbar, Imam Al-Ghazali mengatakan:
“Tujuan murid dalam
mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang adalah kesempurnaan dan
keutamaan jiwanya”. (Al-Ghazali, Mizanul
Amal, 1961, I, 361).
Kemudian Herbart, seorang
ahli didik Jerman (1776 – 1841) juga berpendapat bahwa “Tujuan yang asli dari Pendidikan ialah mempertinggi akhlak kemanusiaan”.
(Drs. Zaiuddin, dkk, Seluk beluk pendidikan dari Al-Ghazali hal 45).
Dan kita semua sudah
tahu bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad S.A.W diutus ke dunia dengan tugasnya
yang utama adalah untuk memperbaiki
akhlak manusia.
Standard nilai sukses
yang kita anut selama ini, yang kita terapkan pada anak-anak kita, tidaklah salah.
Namun itu semata-mata hanya sukses pada tataran kulit atau sukses lahiriah saja
(Aspek Intelektualitas) yang belum dan bahkan mungkin jauh dari sukses yang
diinginkan oleh Allah S.W.T. Karena penekanannya adalah pada akhlak dan yang
beramal shaleh, maka intelektualitas bukanlah apa-apa bila tidak dilengkapi
dengan aspek kematangan emosional dan spiritual.
Tetapi bagaimana kita,
para orang tua bisa menanamkan dan menumbuhkan ketiga kematangan tersebut di atas
bila kita masih saja “keukeuh” (Sunda)
menganut nilai-nilai sukses seperti tersebut di atas, menjadikan mereka seperti
“yang kita inginkan”. Jadi jangan salahkan mereka bila anak-anak tumbuh dengan
sikap yang berorientasi pada kehidupan materi (kebendaan), merasa benar selalu,
keras hati, tidak asertif, mudah labil, kurang kreatif, dan tidak percaya diri,
serta tidak memiliki “sense of crisis”
yang tinggi.
Untuk bertahan hidup dan
bahagia lahir batin, kesuksesan yang diraih hendaknya tidak sebatas lahiriah
saja, sebatas kehidupan di dunia semata, tetapi hendaknya menghasilkan makna
yang lebih dalam menembus batin, kemudian berakhir bahagia di kehidupan akhirat
yang abadi. Al-Ghazali, seorang ahli tasawuf pada abad 5 H (450 H) berpendapat
bahwa, “Pendidikan hendaknya ditujukan kearah
mendekatkan diri kepada Allah S.W.T dan dari sanalah akan diperoleh
kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat”.
Kini sudah saatnya kita
para orang tua, para pendidik melakukan “Paradigm Shift” (Hijrah)
apakah kita masih perlu menganut standard nilai sukses itu seperti yang dianut
masyarakat pada umumnya ataukah kita berani menjadi orang tua yang berbeda yang berani menerobos nilai-nilai lama
itu. Menurut hemat saya nilai-nilai tersebut sudah tidak compatible lagi untuk anak-anak di era ini. Setiap anak terlahir
untuk zamannya, bukan zaman di mana orang tuanya dulu dibesarkan.
Dalam sebuah laporan riset yang diuraikan pada buku “Raising Self Reliant children in a self
indulgent world”, pengarangnya menulis bahwa: “Agar anak berkembang
dewasa utuh dan sukses lahir batin, mereka harus diajak bicara secara jujur dan
dilibatkan dalam percakapan serta pengambilan keputusan yang sepadan dengan
tingkat pemahaman mereka. Riset tersebut juga mengkonfirmasi bahwa dialog dan
kerjasama membentuk fondasi perkembangan moral dan etika, pemikiran kritis,
kematangan penilaian dan mengajarkan efektifitas dalam bertindak. Anak-anak
sekarang sering dibesarkan secara pasif dengan sedikit peluang untuk menemukan
identitas mereka dan mengenal bakat-bakat mereka sebelum terjun ke masyarakat
yang semakin terafiliasi dan bersifat teknis. Kalau pun mereka tahu apa yang
ingin mereka capai sering terhambat oleh orang tua yang “Keukeuh” tadi.
Jika kita bersedia
mendengarkan suara hati mereka, memberi waktu dan energi untuk mengasuh
anak-anak kita sesuai dengan fitrah mereka, ajarkanlah pada mereka bagaimana
seharusnya kita memahami dunia apa adanya – secara realistis. Setelah itu kita
perlu membiarkan mereka menapaki jalannya sendiri sekali pun mungkin sekali- kali
mereka tampak ekstrim. Tetapi jika kita bersikap egaliter, sesuai dengan
kondisi jiwa mereka, “berdialog”, untuk mereka percaya pada diri sendiri dan
yakin akan kapasitasnya bahwa mereka mampu menjalani hidup menurut nilai-nilai
mereka sendiri (tetap dalam koridor kaidah-kaidah agama), maka bukankah kita
tidak perlu mengatur apalagi meyakinkan nilai-nilai sukses menurut kita, kita
perlu juga mendengar “Suara Hati” mereka.
Penting untuk diingat
bahwa sesungguhnya setiap anak membawa tugas masing-masing untuk diselesaikan
dimasa hidupnya. Mereka dilahirkan bukan semata-mata untuk dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh orang tua. Paradigma baru mengasuh, mendidik anak ini
merupakan penambahan dimensi yang tidak kita miliki ketika kita dibesarkan oleh
orang tua kita. Jadi adalah wajar bila anak-anak kita melakukan sesuatu yang
berbeda dengan kita, mengambil jalan yang menurut kita “lain” dan “keliru”,
(Dianggap demikian karena tidak sama dengan kita).
Saya ingin berbagi ide
pengasuhan anak yang selama ini saya terapkan terhadap anak-anak saya sendiri.
Bisa jadi saya adalah orang tua yang berani berbeda – yang menganut nilai-nilai
yang tidak sama seperti pada umumnya, sebab itu saya akan merasa sukses sebagai
orang tua bila saya melihat anak-anak saya bersikap:
-
Jujur pada dirinya sendiri, sekali pun yang dikatakannya boleh
jadi menyakitkan kita.
-
Berani menghadapi kenyataan sekali pun pahit.
-
Percaya diri, sekali pun harus berbeda dengan orang lain di lingkungannya.
-
Berani menyampaikan pendapat yang bertentangan dengan nilai-nilai
ayingal.
-
Menghormati perbedaan apa pun termasuk perbedaan dalam hal belief and faith.
-
Tahu apa yang ingin dicapai dalam hidupnya (memiliki visi)
-
Sadar akan potensinya yang perlu dikembangkan (kenal diri).
-
Mampu memotifasi diri untuk belajar hal-hal yang baru.
-
Mampu bersikap asertif, yakni mengungkapkan kebutuhan pribadi
tanpa mengorbankan kebutuhan orang lain.
-
Memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi dan
situasi baru.
-
Rendah hati dan mampu mengendalikan emosi (nafsu).
-
Dapat memaknai setiap peristiwa yang dihadapi sebagai suatu
jalan menuju perbaikan.
Bagaimana membantu anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa utuh yang matang secara intelektual, emosional dan spiritual?
1. “Hadirlah” untuk mereka dan
dengarkan suara hatinya.(mind, body and soul).
2. Perkenalkan nilai-nilai Anda
dengan memberikan contoh.
3. Perlakukan anak sebagai
makhluk Spiritual dengan misi tertentu yang harus mereka penuhi. Anda dapat
mengamati hidup tapi tidak bisa mengontrol nasib mereka.
4. Akuilah “kebenaran” yang
mereka sampaikan.
5. Bersikaplah terbuka atas
pengalaman-pengalaman hidup mereka sekali pun “yang tidak enak”.
6. Ceritakan proses
pengembangan kepribadian Anda selama ini.
7. Berilah kesempatan
mereka untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri.
8. Bersedialah belajar dari
mereka, artinya siap-siaplah “digurui” mereka.
9. Stop memberikan
penilaian, atau labeling apalagi
menganalisa mereka.
10.Tidak terlalu cepat
membantu, beri mereka kesempatan berbuat menurut idenya sendiri.
11.Diskusikan masalah
keluarga mulai dari hal-hal yang sepele, sesuai dengan umurnya.
12.Sadarlah bila mereka
sukses, maka itu karena usaha mereka yang diridhai oleh Allah S.W.T, bukan
karena cara pengasuhan Anda yang canggih.
13.Katakanlah dengan tulus,
bahwa Anda mencintai mereka apa adanya.
Saya memahami bahwa
tidaklah mudah merubah kebiasaan, namun renungkanlah cara-cara tersebut di atas
sekarang juga, bayangkan manfaatnya bagi hubungan Anda dan anak-anak kelak
ketika mereka sudah dewasa sebelum Anda mempraktekannya. Keluarga Anda Insya
Allah menjadi sebuah keluarga yang terdiri dari para sahabat yang saling
membutuhkan kasih sayang. Dan Anda pun tidak menjadi orang tua yang kesepian. Belum pernah ada satu pun teori pendidikan
anak yang mutlak benar untuk semua anak, mengingat manusia secara individu
adalah “UNIK”.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar