Senin, 30 November 2015

Mengapa  Menikah

Dalam dunia perkawinan, pasangan tidak cukup hanya menjalankan peran sebagai suami atau istri, atau melakukan kewajiban sebagai pendamping hidup. Terdapat informasi dari Dirjen Bimas Kementerian Agama RI, berdasarkan data tahun 2010, dari 2 juta orang menikah setiap tahun se-Indonesia ada 285.184 kasus berakhir dengan perceraian. Ada lagi Konsultan yang menyatakan 1 dari 10 perkawinan di akhiri dengan perceraian. Perceraian ibarat fenomena “Gunung Es”.

Dalam menjalani perkawinan, pasangan menghadapi banyak tantangan yang tidak akan berhenti hingga kematian memisahkan mereka. Tentunya timbul beragam permasalahan dari mulai hal-hal kecil sehari-hari, perbedaan kebiasaan, tradisi budaya, nilai-nilai dan bahkan agama termasuk juga kepribadian masing-masing.

Ketidak-mampuan pasangan berkomunikasi dengan cara-cara yang “persuasif dan bersikap empati, cepat atau lambat akan mempertajam ketidak-harmonisan, hingga “Bom Waktu” meledak dan akhirnya hancur. Disharmonis hubungan antar-pribadi yang tidak terselesaikan sangat mudah menggiring pada keinginan bercerai, apalagi hampir 90% ketidak-mampuan berkomunikasi diperburuk dengan keengganan bersikap “memberi maaf—menerima maaf” (giving-receiving) yang merupakan hukum alam; hukum keseimbangan.

          Selama proses tumbuh kembang kualitas perkawinan, cinta tidaklah cukup, cinta bukanlah satu-satunya modal membangun rumah tangga. Namun dibutuhkan pula Skill dan Knowledge tentang makna dan tujuan pernikahan. Tinggalkanlah mitos perkawinan yang sudah berkembang di masyarakat, misalnya “terimalah dia apa adanya”, “jangan menuntut seseorang untuk berubah”. Keyakinan pada mitos tersebut di atas menyumbang embrio sulitnya menjadikan sebuah perkawinan yang  memberikan kedamaian pada kedua pihak.

Mitos kerap kali berdampak negatif pada ketidak-selarasan hubungan antar pribadi dalam rumah tangga. Dikarenakan pasangan akan menuntut satu sama lain untuk menerima apa adanya, maka masing-masing tidak berusaha merubah dirinya ke arah pribadi yang lebih baik. Seiring dengan berjalannya waktu, usia bertambah, fisikpun berubah. Namun kualitas hubungan antar pribadi tidak berubah. Kejenuhan mulai timbul dari waktu ke waktu hingga perasaan lelahpun muncul. Kalau sudah begini maka kedua pihak akan saling menyalahkan. Ditambah lagi mengingat masa-masa lalu dengan penuh penyesalan.

Di sinilah saatnya merenung dan melihat ke dalam diri. Jika salah satu menolak untuk berubah, maka yang lain hendaknya dapat memulainya secara suka rela dengan tujuan menjadi diri yang lebih bermakna bagi kehidupan dan bermanfaat bagi orang lain. Bagaikan membangun rumah, pernikahan pun memerlukan fondasi yang kuat yakni terdiri dari ramuan cinta, komitmen pada tujuan perkawinan dan will power untuk merubah diri lebih baik. Inilah “bahan” untuk membuat fondasi yang kuat. Setelah itu ditopang Skill dan Knowledge sebagai pilar-pilarnya hingga rumah itu menjadi “kokoh”.

Sesuai dengan pengalaman dalam menangani kasus perkawinan, saya melihat kebanyakan dari mereka belum melakukan usaha yang maksimal. Dengan mudahnya mereka ingin bercerai. Kerap terdengar mereka mengatakan sudah tidak ada kecocokan atau sudah tidak cinta lagi. Sehingga mereka berpikir bercerai adalah jalan terbaik. Mungkin terbaik untuk beberapa kasus, tetapi tidak untuk pada umumnya. Perceraian memang bukanlah jalan yang buruk tetapi juga bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah perkawinan. Setidaknya perlu di upayakan suatu solusi yang nyaman bagi keduanya.

Saya melihat pada banyak kasus, justru perceraian merupakan pelarian dari ketidak-mampuan menghadapi kenyataan dibutuhkannya “membenahi diri”. Perceraian tanpa disadari untuk kepuasan meng-entertaint “Sang Ego” yang mendominasi keinginan sesaat. Mempertahankan pernikahan dibutuhkan Knowledge, Skill dan “back to basic” sebagaimana ketika Anda memutuskan masuk ke dunia perkawinan. Jika tidak maka  sadar atau tidak sadar Anda sebenarnya hanyalah “berpura-pura” membangun perkawinan atau menjalani unconscious marriage.

10  CHARACTERISTICS  OF  CONSCIOUS  MARRIAGE:
1.     Anda menyadari bahwa hubungan cinta kasih Anda memiliki tujuan tersembunyi, yakni; menyembuhkan penderitaan masa kanak-kanak, dan saling menyempurnakan jiwa.

2.     Secara bertahap melepaskan ilusi pencitraan pasangan Anda mulai dari melihat diri sejati (realitas) pasangan Anda. Anda melihat bahwa dia seorang yang sedang berjuang menyempurnakan dirinya.

3.     Anda menjadi lebih sadar dari tujuan setiap interaksi dengan pasangan Anda.

4.     Anda bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan Anda pada pasangan Anda dengan lebih asertif.

5.     Anda menghargai kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan pasangan Anda setinggi Anda menghargai kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan Anda sendiri.

6.     Anda menghindari proyeksi sisi gelap kepribadian Anda pada pasangan Anda.

7.     Anda tidak berhenti belajar teknik baru untuk memenuhi kebutuhan dasar dan keinginan Anda.

8.     Anda senantiasa meneliti diri baik pada kekuatan-kekuatan Anda maupun kelemahan-kelemahan Anda.

9.     Anda semakin sadar untuk mencintai dan dan menjadi pribadi yang “penuh” serta menyatu dengan alam lingkungan dimana Anda menerima cinta kasih.

10.                       Anda menerima dan paham bahwa menciptakan perkawinan yang bahagia, penuh cinta kasih, tenteram, dan damai adalah perlu perjuangan dan kerjasama dari kedua belah pihak.



In an unconscious marriage, you believe that the way to have a good marriage is to pick the right partner. But in a conscious marriage you realize you have to be the right partner. Realizing that a good marriage requires commitment, discipline and the courage to grow and change – as marriage is hard work.


Pada umumnya pasangan menikah berangkat dari romantic love, ketertarikan fisik satu sama lain, atau karena bibit bobot bebet. Ajaran agama dan tradisi budaya juga ikut mendasari kuatnya keingingan untuk menikah, misalnya untuk mendapatkan keturunan, ajaran agama, status sosial, atau adanya keterpaksaan, dll. Alasan-alasan di atas tidaklah salah. Namun tanpa mengurangi nilai-nilai normatif tersebut, Perkawinan sesungguhnya adalah wadah yang sakral bagi ke dua mahluk Tuhan, perempuan dan laki-laki untuk bekerja sama saling melengkapi, saling menyembuhkan, saling menyempurnakan jiwa, agar kembali utuh sebagai makhluk spiritual sebelum kembali pada Yang Maha Sempurna. Perkawinan merupakan salah satu terminal dalam episode kehidupan dalam perjalanan kembali kepada-NYA.[]


Referensi:
“Getting The Love You Want” & “10 Characteristics of Conscious Marriage”

* DRA. RANI ANGGRAENI DEWI, M.A
   Self Improvement Workshop Trainer
   Pre/ Marital Therapist

   Lecturer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar