Senin, 24 September 2018








TIME OUT

"Untuk Anak atau Orangtua”?



Pengalaman memberikan pelajaran kepada saya bahwa mengasuh anak ternyata adalah sebuah undangan berserah diri untuk melangkah ke tahap kesadaran berikutnya. Belajar berserah diri secara alami dalam kehidupan bersama anak-anak benar-benar membutuhkan waktu dan pembiasaan yang banyak tantangan. Jika ada yang mengatakan mengasuh anak itu mudah, saya justru khawatir. Bisa saja dianggap mudah jika orangtua fokus pada dirinya sendiri. Pokoknya pakai parenting teori A dan teori B yang penting anak patuh pada instruksi orangtua. Wah, tetapi anak bukanlah boneka atau robot. Di balik fisiknya yang tampak lebih kecil atau lebih muda usianya daripada kita, hakikatnya adalah jiwa. Jiwa yang kemudian mengejawantah pada personality dengan segala wataknya, misinya dan tujuan hidupnya sendiri.  

Anak-anak tidak jarang menguji kesabaran kita terlebih lagi di usia remaja. Di usia pancaroba ini masalah orangtua bukan lagi soal menunggu mereka menghabiskan makanannya atau menyelesaikan PR-nya, tetapi malah menunggu giliran, seolah dalam antrian panjang di belakang teman-temannya untuk dapat berbicara dengan mereka. Mengizinkan kesabaran bertumbuh dengan baik memiliki tantangan lebih dari sekedar merespon kebutuhan fisik anak. Ketika perilaku anak mengundang kesabaran kita, inilah  kesempatan kita untuk berserah diri terhadap "waktu kini” (present moment), maka berarti  saatnya mengesampingkan agenda pribadi kita dan melupakan tuntutan-tuntutan ego. Dengan demikian kita dapat menghargai "waktu kini" secara lebih utuh dikala peristiwa yang sama menimpa kita sendiri di lain waktu. 

Pelajarannya adalah bahwa bertumbuh dalam kesabaran bagaikan menyusuri jalan setapak kelana spiritual seraya menuntun anak-anak ditangan yang satu dan satu tangan lagi menuntun diriku sendiri. Memang ada masa kita tidak ada waktu untuk bersabar, kita terlalu sibuk dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya. Kita ingin semua berjalan tepat waktu. Di lain sisi kita ingin menunjukkan kepada dunia sayalah orangtua yang bijak. Namun sampai kapan kita bertahan dengan keinginan ini. Adakah rentang waktu yang panjang tanpa batas dalam kehidupan ini.

Jika anak-anak tidak mengikuti agenda, hendaknya kita tetap bersikap bijaksana, dan mengingatkan diri bahwa mereka belum saatnya untuk melakukannya, sebab mungkin mereka lahir ke dunia bukan untuk itu, bukan yang seperti kita inginkan. Dalam situasi demikian, kita bisa mempertimbangkan kembali mungkin merubah agenda daripada memaksa mereka mengikuti rencana yang kita inginkan.

Ketika anak benar-benar sulit ditangani dan Anda benar-benar sudah kehilangan kesabaran ini artinya panggilan bagi Anda untuk melakukan perjalanan ke dalam diri dan tanyakan dalam hati: "Kenapa saya terpancing? Kenapa saya merasa tidak bahagia dengan anak ini? Mengapa sikapnya mengganggu batin saya? Tenangkanlah pikiran dan hatimu dengan mengatur nafas secara halus. Lembutkan jiwamu hinga menyadari dan berkata pada dirimu sayalah yang membutuhkan pertolongan, bukan anak saya”. Lakukan evaluasi diri, jedalah sesaat, duduk hening hingga merasa tenteram. Kedamaian akan lebih mudah dirasakan ketika tubuh relaks, pikiran jernih dan hati bersih. 

Serangkaian refleksi membangunkan kesadaranku bahwa dalam menikmati kekinian yang lebih panjang bersama anak-anak merupakan waktu yang sangat berharga dan menyadarkan saya bahwa saya bernilai demikian pula anak-anak. Secara alami ‘irama anak” sejatinya lebih dekat dengan irama jiwa. Izinkan jiwa kita untuk hadir bersama jiwa mereka. Bersama mereka tatalah kembali pola hidup Anda. Ingatlah akan tiba saatnya  Anda merasakan waktu begitu cepat berlalu. Bisa jadi ini suatu panggilan untuk Anda menjalani kehidupan secara lebih spiritual. 

Saya orangtua pelopor perdamaian, mengajak Anda untuk bergabung bersama saya. 

~ Rani Anggraeni Dewi, MA, MCHT
(inisiator Gerakan Orangtua Pelopor Perdamaian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar