Senin, 28 Januari 2019

MENGAPA MENIKAH



Dalam dunia perkawinan, pasangan tidak cukup hanya menjalankan peran sebagai suami atau istri, atau melakukan kewajiban sebagai pendamping hidup. Terdapat informasi dari Dirjen Bimas Kementerian Agama RI, berdasarkan data tahun 2010, dari 2 juta orang menikah setiap tahun se-Indonesia ada 285.184 kasus berakhir dengan perceraian. Ada lagi Konsultan yang menyatakan 1 dari 10 perkawinan di akhiri dengan perceraian. Perceraian ibarat fenomena “Gunung Es”.

Dalam menjalani perkawinan, pasangan menghadapi banyak tantangan yang tidak akan berhenti hingga kematian memisahkan mereka. Tentunya timbul beragam permasalahan dari mulai hal-hal kecil sehari-hari, perbedaan kebiasaan, tradisi budaya, nilai-nilai dan bahkan agama termasuk juga kepribadian masing-masing.

Ketidak-mampuan pasangan berkomunikasi dengan cara-cara yang “persuasif dan bersikap empati, cepat atau lambat akan mempertajam ketidak-harmonisan, hingga “Bom Waktu” meledak dan akhirnya hancur. Disharmonis hubungan antar-pribadi yang tidak terselesaikan sangat mudah menggiring pada keinginan bercerai, apalagi hampir 90% ketidak-mampuan berkomunikasi diperburuk dengan keengganan bersikap “memberi maaf—menerima maaf” (giving-receiving) yang merupakan hukum alam; hukum keseimbangan.

Selama proses tumbuh kembang kualitas perkawinan, cinta tidaklah cukup, cinta bukanlah satu-satunya modal membangun rumah tangga. Namun dibutuhkan pula Skill dan Knowledge tentang makna dan tujuan pernikahan. Tinggalkanlah mitos perkawinan yang sudah berkembang di masyarakat, misalnya “terimalah dia apa adanya”, “jangan menuntut seseorang untuk berubah”. Keyakinan pada mitos tersebut di atas menyumbang embrio sulitnya menjadikan sebuah perkawinan yang  memberikan kedamaian pada kedua pihak.

Mitos kerap kali berdampak negatif pada ketidak-selarasan hubungan antar pribadi dalam rumah tangga. Dikarenakan pasangan akan menuntut satu sama lain untuk menerima apa adanya, maka masing-masing tidak berusaha merubah dirinya ke arah pribadi yang lebih baik. Seiring dengan berjalannya waktu, usia bertambah, fisikpun berubah. Namun kualitas hubungan antar pribadi tidak berubah. Kejenuhan mulai timbul dari waktu ke waktu hingga perasaan lelahpun muncul. Kalau sudah begini maka kedua pihak akan saling menyalahkan. Ditambah lagi mengingat masa-masa lalu dengan penuh penyesalan.

Di sinilah saatnya merenung dan melihat ke dalam diri. Jika salah satu menolak untuk berubah, maka yang lain hendaknya dapat memulainya secara suka rela dengan tujuan menjadi diri yang lebih bermakna bagi kehidupan dan bermanfaat bagi orang lain. Bagaikan membangun rumah, pernikahan pun memerlukan fondasi yang kuat yakni terdiri dari ramuan cinta, komitmen pada tujuan perkawinan dan will power untuk merubah diri lebih baik. Inilah “bahan” untuk membuat fondasi yang kuat. Setelah itu ditopang Skill dan Knowledge sebagai pilar-pilarnya hingga rumah itu menjadi “kokoh”.

Sesuai dengan pengalaman dalam menangani kasus perkawinan, saya melihat kebanyakan dari mereka belum melakukan usaha yang maksimal. Dengan mudahnya mereka ingin bercerai. Kerap terdengar mereka mengatakan sudah tidak ada kecocokan atau sudah tidak cinta lagi. Sehingga mereka berpikir bercerai adalah jalan terbaik. Mungkin terbaik untuk beberapa kasus, tetapi tidak untuk pada umumnya. Perceraian memang bukanlah jalan yang buruk tetapi juga bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah perkawinan. Setidaknya perlu di upayakan suatu solusi yang nyaman bagi keduanya.

Saya melihat pada banyak kasus, justru perceraian merupakan pelarian dari ketidak-mampuan menghadapi kenyataan dibutuhkannya “membenahi diri”. Perceraian tanpa disadari untuk kepuasan meng-entertaint “Sang Ego” yang mendominasi keinginan sesaat. Mempertahankan pernikahan dibutuhkan Knowledge, Skill dan “back to basic” sebagaimana ketika Anda memutuskan masuk ke dunia perkawinan. Jika tidak maka  sadar atau tidak sadar Anda sebenarnya hanyalah “berpura-pura” membangun perkawinan atau menjalani unconscious marriage.

Jadi apa yang dimaksud dengan Conscious Marriages?

Pertama, sejak awal melangkah ke dalam dunia perkawinan sebagai dunia yang baru bagi Anda, Anda menyadari bahwa hubungan romantic Anda berdua memiliki tujuan tersembunyi (di bawah sadar) yakni menyembuhkan penderitaan di masa kanak-kanak selama pengasuhan orangtua.

Kedua, Anda berdua berupaya melepaskan pencitraan yang dibawa sejak kecil, yang mana pencitraan ini mengandung luka batin disebabkan peristiwa traumatis, pengalaman buruk dan tidak menyenangkan.

Ketiga, kedua belah pihak sadar akan kebutuhan bertumbuh menjadi dirinya sendiri (proses individuasi) sehingga masing-masing memberi kesempatan aktualisasi diri sebagai jalan menuju kesempurnaan jiwa.

Keempat, Anda berdua sadar setiap interaksi yang terjadi membutuhkan cara berkomuniaksi yang efektif disertai sikap welas asih, sebab komunikasi merupakan tools terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri.

Kelima, Anda saling menghargai harapan, angan-angan, mimpi, cita-cita yang ingin dicapai. Bahkan saling memberi support dan masukan positif tanpa menggurui karena Anda menghindari memproyeksikan diri sikap kepribadian Anda pada pasangan Anda.

Keenam, Anda berdua terus-menerus belajar teknik baru, menambah pengetahuan untuk mengembangkan kegiatan bersama sejalan dengan talenta masing-masing.

Ketujuh, Anda berdua semakin sadar untuk mencintai, menjadi pribadi yang “utuh”, memudahkan Anda beradaptasi dengan lingkungan dimana cinta kasih terjalin secara alami. Di sinipun Anda berdua sangat paham bahwa kebahagiaan dalam mewujudkan perkawinan, rumah tangga yang damai diperlukan perjuangan, kerjasama, serta ketulusan dari kedua belah pihak.

In an unconscious marriage, you believe that the way to have a good marriage is to pick the right partner. But in a conscious marriage you realize you have to be the right partner. Realizing that a good marriage requires commitment, discipline and the courage to grow and change – as marriage is hard work.

Pada umumnya pasangan menikah berangkat dari romantic love, ketertarikan fisik satu sama lain, atau karena bibit bobot bebet. Ajaran agama dan tradisi budaya juga ikut mendasari kuatnya keingingan untuk menikah, misalnya untuk mendapatkan keturunan, ajaran agama, status sosial, atau adanya keterpaksaan, dan lain-lain. Alasan-alasan di atas tidaklah salah. Namun tanpa mengurangi nilai-nilai normatif tersebut, Perkawinan sesungguhnya adalah wadah yang sakral bagi kedua makhluk Tuhan, perempuan dan laki-laki untuk bekerjasama saling melengkapi, saling menyembuhkan, saling menyempurnakan jiwa, agar kembali utuh sebagai Makhluk Spiritual sebelum kembali pada Yang Maha Sempurna. Perkawinan merupakan salah satu terminal dalam episode kehidupan dalam perjalanan kembali kepada-NYA.[]



Oleh: RANI ANGGRAENI DEWI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar