Dalam dunia perkawinan,
pasangan tidak cukup hanya menjalankan peran sebagai suami atau istri, atau
melakukan kewajiban sebagai pendamping hidup. Terdapat informasi dari Dirjen Bimas Kementerian Agama RI,
berdasarkan data tahun 2010, dari 2 juta orang menikah setiap tahun
se-Indonesia ada 285.184 kasus berakhir dengan perceraian. Ada lagi Konsultan yang menyatakan 1 dari 10
perkawinan di akhiri dengan perceraian. Perceraian ibarat fenomena “Gunung Es”.
Dalam menjalani perkawinan, pasangan menghadapi banyak tantangan
yang tidak akan berhenti hingga kematian memisahkan mereka. Tentunya timbul beragam permasalahan dari mulai hal-hal kecil sehari-hari,
perbedaan kebiasaan, tradisi budaya, nilai-nilai dan bahkan agama termasuk juga kepribadian masing-masing.
Ketidak-mampuan pasangan
berkomunikasi dengan cara-cara yang “persuasif dan bersikap empati, cepat atau lambat
akan mempertajam ketidak-harmonisan,
hingga “Bom Waktu” meledak dan akhirnya hancur. Disharmonis hubungan antar-pribadi yang tidak terselesaikan sangat mudah menggiring
pada keinginan bercerai, apalagi
hampir 90% ketidak-mampuan berkomunikasi diperburuk dengan keengganan bersikap “memberi maaf—menerima maaf” (giving-receiving) yang merupakan hukum alam; hukum keseimbangan.
Selama proses tumbuh kembang
kualitas perkawinan, cinta tidaklah cukup, cinta bukanlah satu-satunya modal membangun rumah tangga. Namun
dibutuhkan pula Skill dan Knowledge tentang makna dan tujuan pernikahan. Tinggalkanlah mitos perkawinan yang sudah berkembang di
masyarakat, misalnya “terimalah dia apa adanya”,
“jangan menuntut seseorang untuk berubah”. Keyakinan pada mitos
tersebut di atas menyumbang embrio sulitnya menjadikan sebuah perkawinan yang memberikan kedamaian pada kedua pihak.
Mitos kerap kali berdampak
negatif pada ketidak-selarasan hubungan antar
pribadi dalam rumah tangga. Dikarenakan pasangan akan menuntut satu sama lain untuk
menerima apa adanya, maka masing-masing tidak berusaha
merubah dirinya ke arah pribadi yang lebih baik. Seiring dengan berjalannya waktu, usia
bertambah, fisikpun berubah. Namun kualitas hubungan antar pribadi tidak
berubah. Kejenuhan mulai timbul dari waktu ke waktu hingga perasaan lelahpun
muncul. Kalau sudah begini maka kedua pihak akan saling menyalahkan. Ditambah
lagi mengingat masa-masa
lalu dengan penuh penyesalan.
Di sinilah saatnya merenung dan melihat ke dalam diri. Jika salah satu menolak untuk berubah, maka yang
lain hendaknya
dapat memulainya secara suka rela
dengan tujuan menjadi diri yang lebih bermakna bagi kehidupan dan bermanfaat
bagi orang lain. Bagaikan membangun rumah, pernikahan pun memerlukan fondasi
yang kuat yakni terdiri dari ramuan
cinta, komitmen pada tujuan perkawinan
dan will power untuk merubah
diri lebih baik. Inilah “bahan”
untuk membuat fondasi yang kuat. Setelah itu ditopang Skill
dan Knowledge sebagai pilar-pilarnya
hingga rumah itu menjadi “kokoh”.
Sesuai dengan
pengalaman dalam menangani kasus perkawinan, saya melihat kebanyakan dari mereka
belum melakukan usaha yang maksimal. Dengan mudahnya mereka ingin bercerai. Kerap terdengar
mereka mengatakan sudah tidak ada kecocokan atau sudah tidak cinta lagi.
Sehingga mereka berpikir bercerai adalah jalan terbaik. Mungkin terbaik untuk beberapa kasus, tetapi tidak
untuk pada umumnya. Perceraian memang bukanlah jalan yang buruk tetapi juga bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah perkawinan. Setidaknya perlu di upayakan
suatu solusi yang nyaman bagi keduanya.
Saya melihat pada banyak kasus,
justru perceraian merupakan pelarian dari ketidak-mampuan menghadapi kenyataan dibutuhkannya
“membenahi diri”. Perceraian tanpa disadari untuk kepuasan meng-entertaint
“Sang Ego” yang mendominasi keinginan sesaat. Mempertahankan
pernikahan dibutuhkan Knowledge, Skill dan “back to basic” sebagaimana ketika Anda memutuskan masuk ke dunia perkawinan. Jika tidak maka sadar atau tidak sadar Anda sebenarnya hanyalah “berpura-pura” membangun perkawinan atau menjalani unconscious marriage.
Jadi apa yang dimaksud dengan Conscious Marriages?
Pertama, sejak awal melangkah ke dalam dunia perkawinan sebagai
dunia yang baru bagi Anda, Anda menyadari bahwa hubungan romantic Anda berdua memiliki tujuan tersembunyi (di bawah sadar)
yakni menyembuhkan penderitaan di masa kanak-kanak selama pengasuhan orangtua.
Kedua, Anda berdua berupaya melepaskan pencitraan yang
dibawa sejak kecil, yang mana pencitraan ini mengandung luka batin disebabkan
peristiwa traumatis, pengalaman buruk dan tidak menyenangkan.
Ketiga, kedua belah pihak sadar akan kebutuhan bertumbuh
menjadi dirinya sendiri (proses individuasi) sehingga masing-masing memberi
kesempatan aktualisasi diri sebagai jalan menuju kesempurnaan jiwa.
Keempat, Anda berdua sadar setiap interaksi yang terjadi
membutuhkan cara berkomuniaksi yang efektif disertai sikap welas asih, sebab
komunikasi merupakan tools
terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri.
Kelima, Anda saling menghargai harapan, angan-angan,
mimpi, cita-cita yang ingin dicapai. Bahkan saling memberi support dan masukan positif tanpa menggurui karena Anda menghindari
memproyeksikan diri sikap kepribadian Anda pada pasangan Anda.
Keenam, Anda berdua terus-menerus belajar teknik baru,
menambah pengetahuan untuk mengembangkan kegiatan bersama sejalan dengan
talenta masing-masing.
Ketujuh, Anda berdua semakin sadar untuk mencintai,
menjadi pribadi yang “utuh”, memudahkan Anda beradaptasi dengan lingkungan
dimana cinta kasih terjalin secara alami. Di sinipun Anda berdua sangat paham
bahwa kebahagiaan dalam mewujudkan perkawinan, rumah tangga yang damai
diperlukan perjuangan, kerjasama, serta ketulusan dari kedua belah pihak.
In
an unconscious marriage, you believe that the way to have a good marriage is to
pick the right partner. But
in a conscious marriage you realize you have to be the right partner.
Realizing that a good
marriage requires commitment, discipline
and the courage to grow and change – as marriage is hard work.
Pada umumnya pasangan
menikah berangkat dari romantic love,
ketertarikan fisik satu sama lain, atau karena bibit bobot bebet. Ajaran agama dan tradisi budaya juga ikut
mendasari kuatnya keingingan untuk menikah, misalnya untuk
mendapatkan keturunan, ajaran agama, status sosial, atau adanya keterpaksaan, dan
lain-lain. Alasan-alasan di atas tidaklah salah. Namun tanpa mengurangi nilai-nilai normatif tersebut, Perkawinan sesungguhnya
adalah wadah yang sakral bagi kedua makhluk Tuhan, perempuan dan laki-laki untuk bekerjasama saling melengkapi,
saling menyembuhkan, saling
menyempurnakan jiwa, agar kembali utuh sebagai Makhluk Spiritual sebelum kembali pada Yang Maha Sempurna. Perkawinan merupakan
salah satu terminal dalam episode kehidupan dalam perjalanan kembali kepada-NYA.[]
Oleh: RANI ANGGRAENI DEWI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar