EDUCATION FOR HAPPINESS
DRA. RANI ANGGRAENI DEWI, M.A.
Dengan Nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dalam kesempatan yang baik ini saya ingin
berbagi pemikiran dan perasaan tentang bagaimana sebaiknya kita memandang
pendidikan dengan sedikit berbeda. Saya melihat pendidikan bukan saja suatu
aspek untuk mencapai kesejahteraan, namun jauh lebih dari itu yakni adalah
jalan meraih kebahagiaan.
Hasil survei tingkat kebahagiaan yang
diadakan oleh Yayasan Indonesia Bahagia pada tahun 2009 terhadap 500 orang
warga Jakarta menunjukan bahwa orang
yang mengecap pendidikan sampai ke perguruan tinggi relatif lebih bahagia. Itu
artinya kita dapat berasumsi bahwa pendidikan memberikan andil yang bermakna
terhadap kebahagiaan seseorang.
Abraham Maslow, seorang tokoh Psikologi Humanistik
mengatakan bahwa puncak kebahagiaan seseorang adalah ketika ia dapat memenuhi
kebutuhan aktualisasi diri. Dalam teorinya Maslow menunjukan pemenuhan kebutuhan
tingkat ini ditandai oleh suatu pengalaman puncak atau “peak experience” yang
meliputi perasaan lebih dari sekedar kepuasan dan kesenangan atas pencapaian,
bahkan jauh dibalik perasaan yang terungkapkan. Ada juga yang berpendapat peak
experience adalah pengalaman merasa menyatu dengan alam dan selebihnya.
Merupakan suatu common sense setiap orang
yang berhasil meraih cita-cita sesuai dengan yang diharapkan akan mengalami
perasaan ini saat dia berada pada state
kesadaran tersebut di atas. Hanya saja masih banyak orang yang tidak dapat
mengenalinya. Kebahagiaan adalah suatu perasaan yang sangat berbeda dengan
kesenangan dan kepuasan. Kebahagiaan jauh dibalik kesenangan dan kepuasan yang
kerap tidak berkaitan dengan hal-hal yang fisik atau materi (bendawi/ duniawi),
namun ia lebih berkaitan dengan yang batin, hakikat dan ukhrawi. Nah, sekarang
pertanyaannya pendidikan seperti apa yang membuat orang bahagia? Jawabannya adalah pendidikan
berbasiskan nilai-nilai universal. Tujuan pendidikan berbasis nilai menurut HAM/ UNESCO adalah “Untuk mengokohkan kembali keyakinan pada Hak Asasi Manusia yang
mendasar, pada harga diri dan nilai seseorang sebagai manusia”.
Belakangan ini pendidikan karakter (character building) semakin menjadi buah
bibir di berbagai negara bahkan di seluruh dunia terutama berbagai lembaga,
organisasi pemerintah dan non pemerintah. Sebagaimana di negara-negara lain, di negara kitapun wacana tentang pendidikan karakter sering menjadi headline. Mereka membicarakan cara-cara
pengembangan diri manusia yang holistik yakni yang berorientasi pada kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual. Namun pendekatan atau metode yang
digunakan oleh para pendidik masih dirasa kurang tepat, sehingga hasil yang
ditampakkan kerap mengecewakan. Hal ini memberikan kesan seolah lembaga
pendidikan formal maupun non-formal tidak mampu melahirkan manusia yang berbudi
luhur.
Komisi International UNESCO dalam sebuah
laporan tentang pendidikan di abad 21 menyatakan pendidikan nilai merupakan
sarana untuk membangun kesadaran akan pentingnya menciptakan perdamaian dunia
agar terciptanya kehidupan yang lebih nyaman. Dalam konferensi UNESCO ditahun
1998 dibahas empat pilar sifat belajar yaitu Belajar Untuk Melakukan, Belajar
Untuk Mengetahui, Belajar Untuk Hidup Bersama, dan Belajar Untuk Menjadi. Dua
pilar terakhir diakui kurang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan
selama ini. Terbukti meningkatnya kecemasan para orang tua mengenai anak-anak,
adanya keraguan sebagai generasi penerus bangsa di masa mendatang. Kita juga
kerap mendengar meningkatnya tindakan anarkis, bunuh diri, ketergantungan obat-obat
terlarang, pelecehan seksual, penyimpangan norma-norma yang merugikan
kesejahteraan orang banyak seperti misalnya korupsi.
Dalam
pendidikan berbasis nilai ditekankan bahwa setiap individu adalah seorang
manusia sempurna yang berhak menjadi dirinya sendiri dan hidup bersama dengan
manusia lainnya yang saling terkait satu sama lain. Adalah fitrah manusia memiliki
kebutuhan untuk merasa dicintai, merasa dipahami, merasa aman, merasa diakui
dan dihargai. Namun kehidupan yang hedon, konsumerisme, menitikberatkan
pencapaian-pencapaian berdasarkan materialistik alih-alih membuat manusia
bahagia, namun sebaliknya berdampak pada timbulnya keresahan, ketegangan fisik, dan kalutnya pikiran.
Pada
kondisi demikian orang cenderung menyelesaikan masalah dengan jalan pintas dan
tidak tenang. Padahal persoalan yang diselesaikan dengan kekerasan dan tergesa-gesa
sangat merugikan diri sendiri serta menghasilkan penyesalan di kemudian hari. Seorang
pendidik sangat penting memiliki kemampuan pengendalian diri mengingat pendidik
merupakan model bagi murid. Pendidikan berbasiskan
nilai-nilai menawarkan tools yang luwes
dan karenanya diperlukan keluwesan pula ketika menggunakannya sebab setiap
tindakan didasari nilai-nilai yang diusungnya. Melalui berbagai aktifitas nilai
selama kegiatan belajar mengajar berlangsung para siswa bebas mengekspresikan
perasaan dan ide-ide tanpa takut ditolak. kebersamaan terasa begitu indah dan
ruang belajarpun terasa menyejukkan.
Dalam konteks Kebahagiaan, Dr. Martin Selligman, seorang pencetus Psikologi Positif, sebuah mazhab baru dalam dunia
Psikologi Modern berpendapat bahwa; “Manusia tidak hanya ingin terbebas
dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan”. Martin Selligman dengan konsep Psikologi Positif mengajak kita untuk
memandang “ke depan” dan berprasangka baik dalam mengatasi persoalan hidup.
Untuk itu diperlukan melihat setiap diri dengan cara-cara yang positif pula. Sebab
pada dasarnya sifat manusia baik, damai, kuat, penuh cinta kasih dan cerdas.
Inilah kualitas manusia yang hakiki dan
dengan menyadari saja sepenuhnya kualitas tersebut manusia sudah bahagia.
Dengan alasan inilah manusia akan
senantiasa berjuang untuk kembali kepada
state kebahagiaan. Namun
kebahagiaan macam apa yang didambakan manusia? Sudah disebutkan di atas bahwa
kebahagiaan bukanlah kesenangan ataupun kepuasan walau pada tingkat awal bisa
saja dikatakan demikian. Kesenangan dan kepuasan hanyalah kebahagiaan semu
karena berlangsung sementara dan situasional. Sedangkan kebahagiaan yang
otentik memiliki rentang waktu yang jauh lebih panjang sebagaimana kebahagiaan yang
hakiki.
Di
dalam kitab suci-Nya
terdapat ayat berbunyi
: “… Allah akan meningkatkan derajat
orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu
pengetahuan beberapa derajat … “ (Q.S Al-Mujadilah/ 58: 11).
Firman Allah SWT di atas memperkuat
keyakinan saya untuk mengamini teori Aktualisasi Diri-nya Maslow dan teori
Psikologi Positif-nya Selligman. Saya menganggap
pandangan kedua tokoh itu sebagai pendekatan yang dapat digunakan untuk
membantu orang meraih kebahagiaan yang hakiki. Makna derajat dalam makna
eksoteris dapat diartikan tingkat atau kelas yang merujuk pada status sosial. Sementara
dalam makna esoteris merujuk pada kualitas jiwa (nafs) atau suatu tingkat kualitas
kesadaran yang lebih tinggi, yang biasanya disebut Kesadaran Ruhaniah, ada pula
yang menyebutnya Kesadaran Ilahiah. Dari tingkat kesadaran inilah nilai-nilai
luhur tercermin dalam perilakunya.
Pendidikan berbasiskan nilai-nilai mampu
menciptakan suasana nyaman dan ceria dan karenanya memungkinkan tiap orang
memiliki kesempatan menggali potensi yang ada di dalam dirinya dengan lebih
terbuka. Siswa tidak ragu menampilkan keunikan, yang khas tentang dirinya
dengan tetap menghargai teman-teman, guru serta berkomitmen pada aturan-aturan
bersama. Keterbukaan dalam proses pendidikan melahirkan
kreatifitas dimana ketika mencapainya ia mendapatkan pengalaman puncak (peak
experience) yang bermakna. Pengalaman yang tidak dapat diukur secara indrawi, namun
pengalaman yang jauh merasuk ke dalam dunia batin yang tak terkatakan namun
kemudian mereka tahu itulah kebahagiaan sejati atau kebahagiaan otentik.
“Aku
bisa hidup dengan bahagia pada moment kini hanya dengan mengingat bahwa aku sudah
memiliki kondisi secukupnya untuk berbahagia”
(Zen Master, Thich Nhat Hanh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar